Headline News

header-int

2. Pesisir Selatan Mengejar Mimpi (RTRW Prop. Yang Perlu Memihak)

Jumat, 08 Februari 2019, 06:59:48 WIB - 430 | Kontributor :

Luas lahan budidaya yang sempit serta tingkat kesuburannya yang tidak terlalu menguntungkan, karena di sela lahan gambut pada beberapa tempat, menyebabkan tidak semua lahan dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya yang menguntungkan. Kondisi ini makin tidak menguntungkan dengan tingginya curah hujan bulanan dibandingkan dengan daerah lainnya di Sumatera Barat.

PSDA tahun 2018 mencatat bahwa lahan hak milik yang terdaftar secara formal hanya sekitar 59,444 bidang dengan luas hanya sekitar 35.496 hektar. Bandingkan dengan kabupaten Agam yang luas wilayahnya jauh di bawah Kabupaten Pesisir Selatan dan lahan budidayanya hanya mencapai 168.306 hektar tetapi bidang yang terdaftar sekitar 36.336 dengan luas tanah terdaftar mencapai 122,820 hektar. Kondisi ini memperlihatkan betapa sempitnya kepemilikan lahan terdaftar menurut bidang, yang kalau dapat diartikan satu bidang dimiliki oleh satu keluarga atau pemilik, maka rata rata 1 bidang di Pesisir Selatan hanya seluas 0,597 hektar, sedangkan di Kabupaten Agam 1 bidang seluas 3,380 hektar.

Keadaan ini telah menjadi salah satu penyebab ketimpangan spasial dalam penguasaan lahan. Ketimpangan kepemilikan lahan bagi masyarakat yang penduduknya lebih dari 75% hidup sebagai petani tentu saja menjadi salah satu penyebab kemiskinan struktral. Sampai tahun 2018 tercatat jumlah penduduk yang tidak memiliki rumah tidak layak huni akibat ketiadaan lahan usaha di Pesisir Selatan mencapai sekitar 6.596 rumah tangga dari rumah tangga di Pesisir Selatan sebanyak 104.596 Rumah Tangga.

Rumah tangga yang tidak layak huni tersebut juga belum mendapat pasokan aliran listrik. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam 2 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Bupati Hendrajoni, telah mencoba mencari solusi dengan menargetkan 1000 rumah menjadi layak huni dan teraliri listrik setiap tahun, namun masalah pokok belum dapat diupayakan. Masalah pokok adalah masalah lahan usaha yang menjadi miliki, dan ini hanya dapat diupayakan dengan melakukan “perbaikan” atas Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi.

Banyak pengamat menyatakan bahwa usaha apapun yag akan diakukan pemerintah, tanpa mengubah kepemilikan dan distribusi lahan tak akan berhasil, karena penduduknya hidup tergantung dari bdidaya bercocok tanam. Demikian juga penguasaan lahan oleh sekelompok pengusaha, yang diharapkan akan memberikan trickle down effek ternyata tidak terjadi, karena banyak elit berkolaborasi dalam memanfaatkan kondisi ini. Maka ada betulnya apa yang disimpulkan dalam Todaro dalam bukunya “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga” bahwa kemiskinan penduduk di banyak negara bukan disebabkan factor eksternal, tapi lebih disebabkan oleh kebijakan internal yang tidak memihak.

Dalam kasus Pesisir Selatan, saya mengusulkan kembali kepada Pemerintah Propinsi untuk meninjau kembali RTRW Propinsi, agar dapat mengeluarkan sebagian lahan yang fisiografinya layak sebagai lahan budidaya dari Taman Nasional Kerinci Seblat di Lengayang, Bayang, Ranah Empat Hulu, Ranah Pesisir, Sutera, dan Batangkapas. Demikian juga lahan yang secara paksa dimasukkan kedalam deliniasi status hutan lindung dan Suaka Margasatwa. Pada hal lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya bagi perekonomian masyarakat.

Kondisi ini makin memprihatinkan dengan secara serampangan mendeliniasi lahan di sepanjang jalan rintisan Pasarbaru Alahan Panjang, yang pada awalnya telah dikeluarkan dari Hutan Lindung, tiba tiba sebagian dimasukkan ke dalam Kawasan Suaka Alam Margasatwa, sehingga mempersulit penyelesaian ruas jalan tersebut. Ketakutan yang berlebihan atas pembukaan lahan barangkali perlu dipikirkan ulang, karena masyarakat Pesisir Selatan dari dulunya telah terlatih dalam merawat hutan agar hutan dapat serasi dalam menjaga kehidupan mereka.

Hal ini barangkali dapat diperdebatkan kembali. Namun Pemerintah Propinsi tidak usah ragu atas kemampuan Pemerintah daerah dan masyarakat Pesisir Selatan dalam menjaga hutan. Mari kita lihat data PSDA terbaru, bahwa ternyata luas lahan kritis di Pesisir Selatan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lahan kritis di daerah lainnya di Sumatera Barat. Di Pesisir Selatan lahan kritis hanya 4.201 hektar. Bandingkan dengan luas lahan kritis di Sijunjung yang mencapai 41.264 hektar, Kabupaten Solok 47.461 hektar, Tanah Datar 17.861 hektar, Darmasraya 24.494 hektar. Bahkan lahan kritis di Pesisir Selatan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lahan kritis Kota Sawahlunto yang mencapai 8.167 hektar.

Dengan demikian, menurut hemat saya, tak ada alasan kuat untuk tidak melakukan perubahan atas RTRW Propinsi agar berpihak bagi pemberdayaan ekonomi rakyat di masa depan. Bersambung..

Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan merupakan Wadah informasi bagi masyarakat dari pemerintah. Kabupaten Pesisir Selatan adalah sebuah kabupaten di Sumatera Barat, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.749,89 km² dan populasi ±420.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Painan.
© 2024 Kabupaten Pesisir Selatan. Follow Me : Facebook Youtube