Headline News

header-int

Nagari Menunggu Orang Rantau

Selasa, 05 Juni 2018, 08:32:28 WIB - 685 | Kontributor :

Seperti tahun tahun sebelumnya, menjelang lebaran sudah banyak para perantau menuju kampung halaman masing masing. Pulang ke nagari atau kampung dengan berbagai gaya dan pesona.   Ada yang naik pesawai, kapal laut, bus, atau bahkan dengan kendaraan pribadi masing-masing. Pulang atau mudik, adalah tarikan  yang luar basa. Apa pun yang terjadi, pokoknya Pulang Kampung untuk berlebaran. Biasanya para perantau yang tidak sukses tidak pulang  saat seperti ini. Jika sangat ‘taragak’ Mereka akan pulang  pada bulan-bulan lain setelah lebaran. 

Maka tak heran, di hari lebaran,  nagari akan diramaikan oleh berbagai macam jenis kendaraan dan asal usul daerah asal kendaraan para perantau. Kadang kala, kendaraan adalah status tentang keberhasilan di perantauan. Memperlihatkan bahwa bujang yang pergi merantau kini lah pulang. Sudah berguna. Sudah bermanfaat. Sudah bermartabat di antara kerabat di kampung. Dulu belum di dengar, belum dianggap berguna. Kini sudah berbuah,  dan akan dapat bermanfaat untuk kampung halaman, “karantau madang dihulu, babuah babungo balun, karantau bujang dahulu, di rumah paguna balun”. Kini sudah berguna dan pulang.

Nagari pun mulai bergeliat untuk menyambut para perantau. Pemerintahan nagari juga berlomba memperlihatkan kepada perantau, bahwa nagari sudah berubah. Sinyal HP sudah sampai di mana-mana. Turun mobil bisa langsung ke jenjang rumah. Televisi dengan berbagai saluran dan banyak pilihan tak ada bedanya dengan Jakarta. Ah, kampung bukan kagi ndeso, tapi sudah menjelma menjadi nagari yang berbudaya kota. Karena berbudaya kota, maka jangan heran di kampung juga ada anak-anak muda bergaya punk. Dan yang paling mengkuatirkan, sikap individu makin membudaya, sehingga gotong royong menjelang lebaran semakin jarang dilaksanakan.   

Di gerbang pintu masuk nagari, terpampang spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Para Perantau, Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir Dan Bathin.  Mari bersama Membangun Nagari”. Biasanya akan ada pertemuan semua perantau dan masyarakat yang tinggal di Kampung. Membahas berbagai program pembangunan. Perantau akan banyak bicara mengusulkan apa saja yang meraka ingat. Apa saja yang mereka lihat di tanah rantau untuk dilaksanakan di kampung halaman. Berdebat dengan Bamus dan Walinagari, serta pengurus mesjid, merumuskan apa yang menurut perantau  sebaiknya dilakukan di kampung halaman “ Pincalang Biduk rang Tiku, Didayung sambil manilungkuik, basilang kayu dalam tungku, baitu api mangjo iduik”. Kampung menjadi hidup. Pak Wali dan bamus serta pengurus mesjid mendapat lawan dalam rapat atau pertemuan.  Biasanya mendominasi, sekarang mendapat tantangan.

Para Perantau Mengusulkan yang kadang tak mampu Pak Wali menterjemahkannya. Dan Pak Walinagari mencatat yang bisa dicatatnya. Biasanya Pak Wali, manggut-manggut saja,  seperti “Biduk Lalu Kiambang Batauik”. Ada eforia, namun juga ada keterbatasan kemampuan kampung.

Oleh karena itu, para perantau hendaknya  juga mensikapi dengan arif kondisi nagari. Sumberdaya terbatas, uang terbatas, dan semuanya serba terbatas. Tak semua yang dilihat di rantau bisa dilakukan di nagari, karena ada batasan budaya “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, adat nan kawi, syarak nan lazim, adat mamakai, syarak mangato”. Hal lain yang yang masih terasa di kampung-kampung yang perlu diarifi perantau adalah raso pareso, karena mereka saling berkaitan satu sama lain. Ada sumando, mamak, mak rumah, bako, nak pisang, dan segala macam tali hubungan kekerabatan.

Namun juga ada kerinduan, yang betul betul dirindukan  setiap perantau karena tak ada sama sekali di perantauan. Sungai adalah kerinduan. Di kala sore datang, menjelang matahari terbenam tepian mandi adalah keindahan. Tawa ceria, ciloteh dan gelak tawa berbaur dengan percikan air adalah keindahan tak terkira. Kawan-kawan sesama besar mandi sambil bergurau. Meloncat-loncat dari batu besar di pinggir tepian ke lubuk yang airnya dalam. Airnya bersih, bening, dingin, dan tak ada duanya di perantauan. Kerinduan bersendau gurau di tepian sungai. Kerinduan bertemu kawan lama di tepian. Dan, kalau beruntung bertemu gadis pujaan di persimpangan jalan menuju Tepian Kaum Perempuan. Kini tepian sudah ditumbuhi semak belukar. Sudah lama tepian tak dikunjungi orang. Barangkali “Entah sudah barapa kali banjir datang, karena memang sakali banjir datang, sakali pula tapian barubah”. Tepian boleh saja hilang, tapi budaya kita, ciloteh kita, adat kita, kegemberiaan kita mari tetap kita pertahankan di semua sudut nagari, “adat yang tak lakang dek paneh, nan tak lapuak dek hujan”.  

Disamping itu, pembangunan sudah sangat terasa di nagari. Tak banyak beda rantau dan nagari. Air sudah langsung masuk ke rumah rumah. Mandi tak perlu lagi turun ke sungai. Cukup hanya di dalam rumah. Aliran Listrik sudah menerangi rumah-rumah mengganti lampu togok yang pernah perantau rasakan ketika masih kecil. Perubahan ini kadang menggembirakan, tapi sekaligus memupus kerinduan akan ‘tepian’ yang indah itu. Selamat datang Para perantau di Kampung Halaman, Negeri Sejuta Pesona, negeri yang kaya akan destinasi pariwisata. Kemana saja anda menengok, di semua sisi ada obyek wisata.  Selamat Hari raya idul Fitri. Minnal Aidhin Walfaidhin, mohon maaf lahir dan bathin.

Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan merupakan Wadah informasi bagi masyarakat dari pemerintah. Kabupaten Pesisir Selatan adalah sebuah kabupaten di Sumatera Barat, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.749,89 km² dan populasi ±420.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Painan.
© 2024 Kabupaten Pesisir Selatan. Follow Me : Facebook Youtube