Headline News

header-int

Belajar demokrasi dari nagari

Jumat, 04 Mei 2018, 08:01:16 WIB - 421 | Kontributor :

Peristiwa hari kemaren, Kamis, tanggal 3 Mei 2018, dalam pemilihan walinagari serentak di 104 nagari  dari 182 nagari pada 14 kecamatan (kecuali Lengayang) di Pesisir Selatan sungguh sangat menggembirakan. Tidak ada ribut. Intrik hanya sebatas ruang dan kedai kopi di sekitar TPS. Semuanya berjalan lancar. Kalau pun ada yang potensi sampai ke tingkat kecamatan penyelesaiannya, hanya satu, yakni di sebuah nagari di kecamatan Ranah Ampek Hulu. Tapi kami yakin semua akan selesai dengan baik. Pristiwa demokrasi yang luar biasa, sebagaimana yang diharapkan oleh undang undang.

Demokrasi yang berasal dari kata Yunani kuno, demokratia yang artinya kekuasaan rakyat. Yang dalam dunia modern oleh Plato kekuasaan itu dilimpahkan oleh rakyat kepada sekelompok atau individu tertentu atas pilihan rakyat. Kemudian terjadi transformasi nilai, yang membumikan demokrasi menjadi bentuk pemerintahan dimana semua warganya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka, melalui perwakilan dan atau penunjukkan individu yang mereka percayai melalui pemilihan langsung, seperti halnya pemilihan walinagari.

Kami datang ke beberapa kecamatan di tempat TPS-TPS yang dijaga oleh panitia yang kebanyakan ibu-ibu, memperlihatkan warna demokrasi kita yang makin dewasa. Tidak ada wajah-wajah permusuhan satu sama lain. Tidak ada sangar-sangaran. Para saksi dari calon calon yang berbeda berkelakar satu sama lain, telah merefleksikan masyarakat yang makin matang dalam berdemokrasi. Yang ada dalam pikiran para saksi dan rakyat setempat adalah logika untuk mensukseskan demokrasi dan menemukan pemimpin terbaiknya. Kekuatiran E.f. Schumacher dalam bukunya “Kecil itu Indah”, bahwa demokrasi amat sulit dilakukan di pedesaan negara-negara berkembang karena dominasi budaya patron dan primordial, ternyata terpelanting entah kemana. Tidak ditemui di nagari nagari di Pesisir Selatan.

Jauh sebelum hari pencoblosan. Dari seleksi calon telah tampak adanya kedewasaan dan kematangan dalam berdemokrasi. Walaupun (kami yakin) sebagian diantara para calon belum pernah membaca buku-buku tentang demokrasi, Ilmu Politik, atau Trias politika. Namun mereka bisa memaknai dan memahami tentang politik yang sebenarnya. Bahwa politik itu adalah kebersamaan, kesantunan, memilih yang dihargai, dan menghargai yang dipilih.  Sedikit bergeser dari Prof. Miriam Budihardjo dalam bukunya ‘Ilmu Politik’ yang menyebutkan politik adalah bermacam-macam kegiatan yang menyangkut proses mencapai tujuan dan berupaya melaksanakan tujuan itu. Bisa baik prosesnya bisa tidak baik, yang penting tujuan tercapai. Tapi hal ini tidak berlaku dalam politik pemilihan wali nagari kemaren.

Ada 427 calon pada awalnya, namun karena tiap nagari maksimal 5 yang dibolehkan oleh aturan yang ada, maka sebanyak 131 calon pada beberapa nagari yang bakal calonnya lebih dari 5 diadakan evaluasi atas kemampuan mereka dalam memahami pemerintahan nagari. Dari seleksi yang dilakukan dan di tambah dengan bakal calon di nagari yang tidak lebih dari 5 maka seluruh calon menjadi 388 calon. Dapat dibayangkan 388 calon pada 104 nagari berkompetisi dengan program program yang ditawarkan kepada rakyat masing masing nagari. Betapa riuhnya demokrasi di nagari (bandingkan dengan bakal calon presiden yang hanya 2, sudah ribut orang-orang di Jakarta dengan segala caci maki melalui berbagai media).

Namun yang terjadi tidak ada ribut-ribut. Adu argumen hanya sebatas di pelanta kedai kopi. Kadang memang ada ‘sarengeh ala pedesaan Minangkabau. Pulang, ke laut dan ke sawah bekerja lagi. Tidak ada tunjuk-tunjuk, tidak ada ngeyel-ngeyel.  Ke mesjid bersama lagi. Ke surau bersama lagi. Rakyat hanya melakukan evaluasi dalam bilik suara, hanya hatinya yang mengatakan bahwa calon ini baik, calon itu bagus, calon yang ini tidak ada empati, calon yang lain tidak pernah ke mesjid, calon ini tidak mau tahu dengan kartu BPJS, calon itu tak menghiraukan rakyat banyak. Tak ada hiruk pikuk. Tak ada fitnah. Tak ada menjelekan calon yang tidak akan dipilihnya. Kemudian jooss, coblos. Selesai. Itulah demokrasi yang sempurna di nagari.

Dari pemantauan lapangan, sekitar 70% incombent kalah. Kenapa kalah, karena walinagari yang lama barangkali tidak melaksanakan janjinya membantu rakyat atau menolong rakyat memperjuangkan hak-haknya kepada pemerintah yang lebih atas. Atau mungkin malah korup. Rakyat memilih. Rakyat melakukan evaluasi dengan senyum. Kemudian menyaksikan penghitungan suara, dan pulang dengan riang tanpa ribut ribut kemenangan.      

Peristiwa ini harusnya menjadi wadah pembelajaran bagi kaum politisi kita di tingkat atas, ditengah hiruk pikuk nasonal tentang calon presiden, dan kepada para legislator kita yang sebentar akan berkompetisi. Jangan pernah menyepelekan amanah rakyat...

Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan merupakan Wadah informasi bagi masyarakat dari pemerintah. Kabupaten Pesisir Selatan adalah sebuah kabupaten di Sumatera Barat, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.749,89 km² dan populasi ±420.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Painan.
© 2024 Kabupaten Pesisir Selatan. Follow Me : Facebook Youtube