
Beberapa tahun terakhir, masyarakat kita semakin sering merasakan panas terik yang menyengat, hujan yang datang tak menentu, hingga abrasi pantai yang semakin mendekati permukiman. Perubahan ini bukan sekadar fenomena alam biasa. Ada faktor tersembunyi yang ikut menyumbang: jejak karbon dari aktivitas kita sehari-hari. Meski tak terlihat, setiap kali kita menyalakan kendaraan bermotor, menggunakan listrik berlebih, membakar sampah, atau mengonsumsi produk yang diangkut dari jauh, kita meninggalkan “tapak tak kasat mata” di atmosfer bumi yang berpengaruh terhadap iklim.
Secara sederhana, jejak karbon (carbon footprint) adalah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung oleh individu, organisasi, produk, atau aktivitas tertentu. Gas rumah kaca tersebut meliputi karbon dioksida (CO?), metana (CH?), nitrogen oksida (NOx), dan gas lain yang mempercepat pemanasan global serta perubahan iklim. Para ahli menjelaskan, jejak karbon diukur dalam satuan ton CO? atau CO?e (setara CO?) untuk menggambarkan dampak berbagai jenis gas tersebut terhadap bumi. Jejak ini bisa berasal dari rumah tangga seperti listrik, makanan, pakaian, dan perjalanan hingga perusahaan, negara, bahkan produk tertentu sejak tahap bahan baku, produksi, penggunaan, hingga pembuangannya.
Mengapa kita harus peduli? Jejak karbon yang terus meningkat menyebabkan bumi semakin panas. Dampaknya nyata: cuaca makin ekstrem, permukaan laut naik, bencana alam lebih sering terjadi, dan ekosistem terganggu. Jika kita terus abai, generasi mendatang akan menanggung risiko lebih besar, termasuk krisis pangan, kesehatan, dan tempat tinggal. Peduli pada jejak karbon berarti peduli pada kualitas hidup kita sendiri dan masa depan anak cucu. Ini bukan sekadar isu global, tetapi juga lokal.
Di Pesisir Selatan, kita beruntung memiliki bentang hutan mangrove yang luas di tepi pantai. Mangrove bukan hanya “pagar hidup” yang menahan abrasi dan gelombang besar, tetapi juga penyerap karbon alami paling efektif di bumi. Akar-akar mangrove menyimpan karbon hingga empat kali lebih banyak dibandingkan hutan darat. Mangrove juga menjadi rumah bagi berbagai biota laut yang mendukung mata pencaharian nelayan. Artinya, menjaga mangrove berarti menjaga ekosistem pesisir, ekonomi masyarakat, sekaligus ikut mengurangi jejak karbon di atmosfer.
Dampak jejak karbon yang tak terkendali juga langsung terasa dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan suhu udara memicu gelombang panas, menurunkan kualitas udara, dan mempengaruhi kesehatan pernapasan. Kerusakan ekosistem laut akibat pemanasan dan pengasaman air laut mengancam mata pencaharian nelayan lokal. Abrasi pantai dan hilangnya lahan produktif kian menggerus ruang hidup masyarakat pesisir. Bahkan ketahanan pangan pun terganggu akibat gagal panen dan perubahan pola tanam yang dipicu perubahan iklim. Jika kondisi ini berlanjut, biaya adaptasi akan jauh lebih besar dibandingkan biaya pencegahan.
Kabar baiknya, mengurangi jejak karbon tidak harus rumit. Kita bisa memulainya dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, seperti menggunakan transportasi umum, berjalan kaki, atau bersepeda jika memungkinkan. Menghemat energi listrik dengan mematikan lampu dan mencabut perangkat yang tidak terpakai juga berdampak besar. Kurangi sampah rumah tangga dengan membawa tas belanja sendiri, menggunakan ulang barang, dan mendaur ulang limbah. Pilih produk lokal untuk mengurangi jejak karbon transportasi sekaligus mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Dan yang tak kalah penting, ikut melestarikan mangrove dengan tidak menebangnya, mendukung program penanaman kembali, serta menjaga kebersihan pesisir dari sampah plastik.
Jejak karbon memang tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata. Dengan mengubah kebiasaan kecil dalam kehidupan sehari-hari, kita ikut menjaga bumi tetap layak huni. Peduli pada jejak karbon bukan sekadar slogan, tetapi gerakan sederhana demi masa depan yang lebih sehat bagi kita dan generasi berikutnya.